Senja
mengusik lamunanku. Aku tersipu melihat pancaran cahaya di balik pohon rawu
samping musala. Sungguh indah, melihat senja sekaligus pemilik lesung pipit
yang sedang menghampiriku. Rambutnya mendayu-dayu terkena angin sore. Sekali
lagi, aku termangu. Senyumnya berhasil membawaku mengkhayal ke langit ketujuh.
Mungkin ia titisan Dewi Sinta yang cantiknya amat memesona. Atau, ia reinkarnasi
Drupadi yang digambarkan sebagai seorang wanita halus dan penyayang.
Aku
tak dapat memalingkan wajahku. Kuyakin jika kalian melihatnya, berkedippun
takkan kuasa. Sungguh Maha Baik Tuhan yang menciptakan makhluk sesempurna dia.
Satu langkah lagi. Tinggal satu langkah lagi, ia akan berjalan di depanku. Dari
jarak satu langkah ini, aku sudah dapat mencium bau parfumnya. Cerry. Aku suka cerry. Aku sangat menggandrungi cerry,
salah satunya karena dia. Ia cerry-ku.
Penguasa seluruh ruang sepi hatiku selama empat tahun ini. Ahh! Aku sudah GILA!
Selama empat tahun, aku tak tertarik pada perempuan manapun. Hanya dia.
Satu-satunya.
“Ali,
aku duluan ya!” Pamitnya.
Aku
tersenyum. Suaranya selembut sutra. Bibirnya ranum kemerah-merahan. Matanya bening
ala-ala pemain drama Korea. Jangan
tanya kulitnya! Kulitnya putih, tetapi bukan putih pucat seperti orang-orang
biasanya. Aku menatapnya canggung. Ia mendekat padaku. Suara langkah kakinya
membentuk sebuah melodi indah. Aku memejamkan mata.
“Kenapa
kau memejamkan matamu?” Tanyanya sambil tertawa cekikikan.
Aku
salah tingkah. Ia sangat dekat denganku, kira-kira lima langkah kakiku. Kemajuan
pesat. Ya! Kalian tak perlu heran. Karena, biasanya aku hanya dapat menatapnya
dari kejauhan.
“Iyalah,
ada nenek gayung di sini. Haha.” Aku tertawa sekaligus mencoba menenangkan
debaran jantungku. Satu langkah lagi ia mendekatiku. Aku yakin, aku akan
pingsan saat itu juga.
“Di
mana ada nenek gayung? Ah! Kamu lucu. Nenek gayung ‘kan cuma ada dalam cerita
dongeng anak-anak.”
Ya! Seperti mimpiku untuk
memilikimu. Hanya dongeng, Ratih. Ucapku dalam hati.
“Hei!
Kamu tidur berdiri?!” Katanya lalu tertawa renyah.
“Ya
nggaklah. Kamu nggak sadar, ya!” Kataku pura-pura misterius.
“Sadar
apa?” Tanyanya. Mata beningnya berkedip sekali, lalu menatapku intens.
Sekali
lagi aku bungkam karena tatapannya. Semua dari dia adalah candu. Aku terpana
pada apapun miliknya. Apapun. Sungguh. Bagiku, dia adalah yang sempurna.
“Heh!
Bengong lagi!” Katanya cemberut.
“Dasar
gayung.” Kataku padanya lalu menjulurkan lidahku.
“Ha!
Aku cantik gini kok disamain sama nenek gayung!” Cibirnya.
Aku
tersenyum.
Suara
klakson mobil berbunyi dengan nyaring. Kami menoleh ke arah sumber suara hampir
bersamaan. Wajah Ratih seketika berubah ceria. Ia tersenyum, lalu berhambur ke arah
mobil merah di depan kami. Aku tersenyum hambar. Mataku hampir mengeluarkan
tetesan sendu. Tetapi dengan sekuat hati, aku mencoba menahannya. Aku akan
ditinggalkannya.
“Duluan
ya, Aku pulang dulu sama suamiku. Ayo, Roy!” Ajaknya kepada Roy. Suaminya sejak
satu tahun lalu.
Hatiku
hancur. Ia telah menanggalkan hatiku. Bayangan senyumnya masih milikku. Wajah
cantiknya, bahkan suara merdunya. Ia tetap milikku. Wanita bayanganku. Aku tak
dapat berpaling darinya, meskipun ia bukan milikku.
_THE END_
Jember, 24 November
2017
Ditemani suara
jangkrik. Suasana hati yang perih ketika sang tuah tak mampu menahan gejolaknya
sendiri.maisarohmey.blogspot.com