Selasa, 06 Maret 2018

Di Balik Jendela (Belajar membuat Naskah)

DI BALIK JENDELA
Babak 1
Suasana ditaman. Satu bangku memanjang, dua bangku, dan meja ditengah-tengah. Bunga-bunga berjejer rapi.
Tika duduk sambil memangku wajahnya di atas meja. Ia bersikap acuh tak acuh dengan perdebatan teman-temannya.Tampak Joni, Inggit, dan Sarah bersemangat memperdebatkan pendapat mereka tentang perempuan. Joni kelihatan penuh keringat dengan memegang bola basket.
JONI
Perempuan itu tugasnya ya memang di dapur.
SARAH
Bok yo. Iku jaman biyen. Sekarang sudah jaman now.
(Sarah tampak kesal. Ia menatap Joni sengit. Sedangkan, Joni hanya tersenyum seolah-olah meremehkan.)
INGGIT
Iya Jon. Menurut buku yang aku baca. Perempuan juga sudah setara dengan laki-laki. (Inggit membenarkan kacamatanya.)
JONI
Setara apaan? Gue (dengan suara menekankan) tetep gak terima.
SARAH
Dasar radikal (Sarah ingin memukul Joni. Tetapi, ia ditahan oleh Inggit dan Tika)
JONI
Sekarang, ngomong tentang kenyataan aja deh. Gini nggit, gue tau lo pinter karena hobby lo yang suka baca literasi. Terus, gue tau lo gak terima dengan ocehan gue karena lo sendiri sudah merasakan gimana jadi perempuan yang mandiri sepenuhnya.
Sarah dan Inggit menatap Joni penasaran. Bahkan, Tika ikut-ikutan menatapnya.
JONI
 Tapi, lihat deh yang disebelah lo (menunjuk Tika, Tika tampak tak nyaman ditunjuk seperti sedang diremehkan) emang dia perempuan yang dimaui kartini?
Semuanya menatap ke arah Tika. Sarah dan Inggit menatapnya prihatin. Tika tampak risih. Ia membenarkan tempat duduknya lalu memainkan Hp yang sedari tadi didepannya.
JONI
Dia gak suka baca buku, manja, suka main hp saat pelajaran dikelas, ngerengek-ngerengek gak jelas. Dan yang paling unik, dia gak punya hobby.
Tika berdiri. Ia membanting hpnya didepan teman-temannya. Ia menatap Joni kesal. kemudian ia menatap teman-temannya yang lain. Ia sangat kecewa dengan tatapan meremehkan dari Joni, tatapan kasihan dari Inggit, dan tatapan tak suka dari Sarah.
Tika mengambil tasnya lalu pergi. Ia berlari dengan wajah memerah menahan kesal, malu, dan marah.
Lampu mati

Babak 2
Tika menangis diatas kasurnya. Ia melampiaskan semua kekecewaannya kepada teman-temannya. hidungnya merah, wajahnya sembab. Sebuah bantal guling dalam kartun Doraeman menutupi wajahnya.
Ibunya masuk kedalam kamarnya. Ia tampak prihatin dengan keadaan puterinya. Ia duduk di samping puterinya. Ia mengelus-elus wajah puterinya.
IBU
Kenapa kamu menangis? (tanya ibu dengan penuh kasih)
TIKA
Aku kesal bu. Aku dihina sama teman-teman.
IBU
Kenapa?
Meong-meong.
Terdengar suara kucing didepan kamar Tika. Tampaknya kucing itu sedang kesakitan.
Tika keluar membuka jendela. Ia kasihan melihat kucing itu. kemudian ia keluar dari kamarnya. Ibunya mengikuti Tika dari luar. Tika membantu kucing itu yang terjebak diselokan.

Tika tampak tulus menolong kucing itu. Ia mengelus-elus kucing kecil tersebut. ibu tersenyum melihat Tika.
IBU
Tika. (memanggil nama Tika)
Tika menoleh menatap ibu. Ia tampak bertanya-tanya kenapa namanya dipanggil.
IBU
Kamu tidak usah marah jika diremehkan oleh teman-temanmu. (tersenyum)
Tika tampak tak mengerti.
IBU
Kamu istimewa sayang. (Kata ibu sambil tetap tersenyum)
Tika
Aku tidak mengerti bu.
IBU
Sekalipun anak ibu kekanakan. Anak ibu manja. Anak ibu tidak punya hobby yang menonjol. Tapi sebenarnya, kamu punya hobby istimewa sayang.
TIKA
Aku tetap tidak mengerti bu. (mengerutkan keningnya)
IBU
Kamu punya hati yang bersih sayang (memegang dada puterinya). Kamu tidak segan-segan menolong orang lain. Sekarang kamu menolong kucing, kemarin anak kecil yang kehilangan ibunya, lusa Feby meminta boneka kesayangan kamu dan kamu kasih karena gak tega liat dia menangis. Kamu istimewa sayang. Anak ibu yang punya kelebihan.
Tika terharu. Ia menatap ibunya lalu memeluknya. Ia sayang sekali dengan ibunya. Ibunya selalu mempunyai sesuatu yang bisa buat ia tersenyum.

Lampu mati secara perlahan. Terdengar lagu “kasih ibu” yang semakin kencang.
TAMAT

Rabu, 28 Februari 2018

Bukan Malam,

Dan guratan-guratan malam itu mulai mengganggu.
Siang yang remuk, sore yang ringkih, kemudian malam.
Jangan kau tanya berapapun, sebanyak apapun, atau sesekali mulai menelisik, menilai, dan menimang.
Hey!
Mana?
Mana?
Ah! kau lupa rupanya.
mau kutanyakan pada siapa?
Jika bunga mulai menyeruakkan bau-bau sengit...
Cahaya indah mulai menyempil pada bunga-bunga kasturi.
Gelap dikau! dengan kata yang hanya dibawa lelap.
Dusta engkau! dengan bibir-bibir yang dipenuhi buih-buih racun musuhmu yang ketakutan.
Kau tertawa dengan lambang kasta yang seharusnya jua kau tengadahkan, bukan malah kau tumpahkan.
Semoga engkau terbangun dari malam-malam dan mimpi-mimpi yang membuatmu takluk. 

Wanita Bayang-Bayang

Senja mengusik lamunanku. Aku tersipu melihat pancaran cahaya di balik pohon rawu samping musala. Sungguh indah, melihat senja sekaligus pemilik lesung pipit yang sedang menghampiriku. Rambutnya mendayu-dayu terkena angin sore. Sekali lagi, aku termangu. Senyumnya berhasil membawaku mengkhayal ke langit ketujuh. Mungkin ia titisan Dewi Sinta yang cantiknya amat memesona. Atau, ia reinkarnasi Drupadi yang digambarkan sebagai seorang wanita halus dan penyayang.
Aku tak dapat memalingkan wajahku. Kuyakin jika kalian melihatnya, berkedippun takkan kuasa. Sungguh Maha Baik Tuhan yang menciptakan makhluk sesempurna dia. Satu langkah lagi. Tinggal satu langkah lagi, ia akan berjalan di depanku. Dari jarak satu langkah ini, aku sudah dapat mencium bau parfumnya. Cerry. Aku suka cerry. Aku sangat menggandrungi cerry, salah satunya karena dia. Ia cerry-ku. Penguasa seluruh ruang sepi hatiku selama empat tahun ini. Ahh! Aku sudah GILA! Selama empat tahun, aku tak tertarik pada perempuan manapun. Hanya dia. Satu-satunya.
“Ali, aku duluan ya!” Pamitnya.
Aku tersenyum. Suaranya selembut sutra. Bibirnya ranum kemerah-merahan. Matanya bening ala-ala pemain drama Korea. Jangan tanya kulitnya! Kulitnya putih, tetapi bukan putih pucat seperti orang-orang biasanya. Aku menatapnya canggung. Ia mendekat padaku. Suara langkah kakinya membentuk sebuah melodi indah. Aku memejamkan mata.
“Kenapa kau memejamkan matamu?” Tanyanya sambil tertawa cekikikan.
Aku salah tingkah. Ia sangat dekat denganku, kira-kira lima langkah kakiku. Kemajuan pesat. Ya! Kalian tak perlu heran. Karena, biasanya aku hanya dapat menatapnya dari kejauhan.
“Iyalah, ada nenek gayung di sini. Haha.” Aku tertawa sekaligus mencoba menenangkan debaran jantungku. Satu langkah lagi ia mendekatiku. Aku yakin, aku akan pingsan saat itu juga.
“Di mana ada nenek gayung? Ah! Kamu lucu. Nenek gayung ‘kan cuma ada dalam cerita dongeng anak-anak.”
Ya! Seperti mimpiku untuk memilikimu. Hanya dongeng, Ratih. Ucapku dalam hati.
“Hei! Kamu tidur berdiri?!” Katanya lalu tertawa renyah.
“Ya nggaklah. Kamu nggak sadar, ya!” Kataku pura-pura misterius.
“Sadar apa?” Tanyanya. Mata beningnya berkedip sekali, lalu menatapku intens.
Sekali lagi aku bungkam karena tatapannya. Semua dari dia adalah candu. Aku terpana pada apapun miliknya. Apapun. Sungguh. Bagiku, dia adalah yang sempurna.
“Heh! Bengong lagi!” Katanya cemberut.
“Dasar gayung.” Kataku padanya lalu menjulurkan lidahku.
“Ha! Aku cantik gini kok disamain sama nenek gayung!” Cibirnya.
Aku tersenyum.
Suara klakson mobil berbunyi dengan nyaring. Kami menoleh ke arah sumber suara hampir bersamaan. Wajah Ratih seketika berubah ceria. Ia tersenyum, lalu berhambur ke arah mobil merah di depan kami. Aku tersenyum hambar. Mataku hampir mengeluarkan tetesan sendu. Tetapi dengan sekuat hati, aku mencoba menahannya. Aku akan ditinggalkannya.
“Duluan ya, Aku pulang dulu sama suamiku. Ayo, Roy!” Ajaknya kepada Roy. Suaminya sejak satu tahun lalu.
Hatiku hancur. Ia telah menanggalkan hatiku. Bayangan senyumnya masih milikku. Wajah cantiknya, bahkan suara merdunya. Ia tetap milikku. Wanita bayanganku. Aku tak dapat berpaling darinya, meskipun ia bukan milikku.

_THE END_
Jember, 24 November 2017

Ditemani suara jangkrik. Suasana hati yang perih ketika sang tuah tak mampu menahan gejolaknya sendiri.maisarohmey.blogspot.com